Pendidikan Anak Pra Sekolah



1.1.            Pengertian Anak Prasekolah
Yang dimaksudkan dengan anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun menurut Biechler dan Snowman (1993). Mereka biasanya mengikuti program prasekolah dan kindergarten. Sedangkan di Indonesia, umumnya mereka mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 bulan -5 tahun) dan Kelompok Bermain (usia3 tahun), sedangkan pada usia4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program Taman Kanak-Kanak.
Masa prasekolah dapat merupakan masa-masa bahagia dan amat memuaskan dari seluruh masa kehidupan anak. Untuk itulah kita perlu menjaga hal tersebut berjalan sebagaimana adanya. Janganlah memaksakan sesuatu karena diri kita sendiri dan mengharapkan secara banyak dan segera, maupun mencoba untuk melakukan hal-hal yang memang mereka belum siap. Suatu hal yang tidak mudah untuk mengajari anak untuk berhitung, membaca ataupun menulis pada masa-masa pertama kehidupannya.
Masa prasekolah adalah masa pertumbuhan. Masa-masa ini adalah masa menemukan orang seperti apa anak tersebut, dan teknik apakah yang bisa cocok dalam menghadapinya. Masa prasekolah adalah masa belajar, tetapi bukan dalam dunia dua dimensi (pensil dan kertas) melainkan belajar pada dunia nyata, yaitu dunia tiga dimensi. Dengan perkataan lain, masa prasekolah merupakan time for play.
Frank dan Theresa Caplan dalam buku The Power of Play menyebutkan bahwa pada masa prasekolah yang ditekankan adalah bermain. Waktu bermain merupakan sarana pertumbuhan. Pada tahun-tahun pertama kehidupannya, anak membutuhkan bermain sebagai sarana untuk tumbuh dalam lingkungan budaya dan kesiapannya dalam belajar formal. Bermain merupakan aktivitas yang spontan dan melibatkan motivasi serta prestasi dalam diri anak yang mendalam.
Dalam dunianya, seorang anak merupakan decision maker dan play master. Dengan bermain, anak bebas beraksi dan juga mengkhayalkan sebuah dunia lain, sehingga dengan bermain ada elemen petualangan.

1.2.            Ciri-Ciri Anak Prasekolah
1.2.1.      Ciri Fisik Anak Prasekolah
Penampilan maupun gerak-gerik anak taman kanak-kanak mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya. Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah memiliki peguasaan (control) terhadap tubuhnya, sangat meyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. Otot-otot besar pada anak taman kanak-kanak lebih berkembang dari control jari dan tangan. Oleh karena itu, biasanya anak belum terampil dalam kegiatan yang rumit seperti mengikat tali sepatu.Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan pandangannya pada objek-objek yang kecil ukurannya, itu sebabnya koordinasi tangan dan matanya masih kurang sempurna. Walaupun tubuh anak ini lentur, tetatpi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak. Oleh karena itu, hendaknya berhati-hati bila anak berkelahi dengan teman-temannya. Orang tua atau guru harus senantiasa mengawasi dengan cermat dan telaten.
1.2.2.      Ciri Sosial Anak Prasekolah
Anak prasekolah telah menyadari peran jenis kelamin dan sex typing.  Setelah anak masuk TK, umumnya pada mereka telah berkembang kesadaran terhadap perbedaan jenis kelamin dan peran sebagai anak lelaki dan anak perempuan. Kesadaran ini tampak pada pilihan terhadap alat permainan dan aktivitas bermain yang dipilih anak lelaki dan anak perempuan. Anak lelaki umumnya lebih menyukai bermain di luar, bermain kasar dan bertingkah laku agresif. Anak perempuan lebih suka bermain bersifat kesenian, bermain boneka, dan menari.
Paten (1932), mengamati tingkah laku sosial anak usia dini ketika mereka sedang bermain bebas sebagai berikut:
a.        Tingkah laku unoccupied. Anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin berdiri di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apapun.
b.        Bermain soliter. Anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan berbeda dengan apa yang dimainkan oleh teman yang ada di dekatnya. Mereka tidak berusaha untuk saling bicara.
c.         Tingkah laku onlooker. Anak menghabiskan waktu dengan mengamati. Kadang memberi komentar apa yang dimainkankan anak lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain bersama.
d.        Bermain parallel. Anak bermain dengan salin berdekatan, tetapi tidak sepenhnya bermain bersama dengan anak yang lain. Mereka menggunakan alat mainan yang sama, berdekatan tetapi dengan cara yang tidak saling bergantung.
e.        Bermain asosiatif. Anak bermain dengan anak lain tetapi tanpa organisasi. Tidak ada peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri.
f.          Bermain kooperatif. Anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi, ada pimpinannya. Masing-masing anak melakukan kegiatan bermain dalam kegiatan bersama, misalnya perang-perangan, sekolah-sekolahan, dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan kognitif anak. Piaget mengemukakan perkembangan permainan anak usia dini sebagai masa symbolic make play (berlangsung dari 2-7 tahun).
Pola Bermain
Pola bermain anak prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuia dengan kelas sosial dan ‘gender’. Keneth Rubin dkk (1976), melakukan pengelompokan setelah mengamati kegiatan bermain bebas anak prasekolah yang dihubungkan dengan kelas sosial dan kognitif anak, yaitu:
·        1. Bermain fungsional. Melakukan pengulangan gerakan-gerakan  otot dengan atau tanpa objek-objek.
·        2. Bermain konstruktif. Melakukan manipulasi terhadap benda-benda dalam kegiatan membuat konstruksi 
         atau mengkreasi/ mencipatakan sesuatu.
·        3. Bermain dramatik, adalah dengan menggunakan situasi yang imajiner.
·        4. Bermain dengan mennggunakan aturan
Paten dan Rubin dkk menemukan bahawa anak-anak dari kelas ekonomi rendah lebih sering melakukan bermain yang fungsional dan bermain parallel dibandingkan dari anak yang berasal dari kelas menengah. Dari kelas menengah lebih banyak bermain asosiatif, kooperatif, dan konstruktif.
Sedangkan anak perempuan lebih banyak soliter, konstruktif-paralel, dan dramatik, dibandingkan dengan anak lelaki. Anak lelaki lebih banyak bermain fungsional-soliter dan asosiatifdramatik daripada anak perempuan.


1.2.3.      Ciri Kognitif Anak Prasekolah
Pada rentang usia 3-4 sampai 5-6 tahun, anak mulai memasuki masa prasekolah yang merupakan masa kesiapan untuk memasuki pendidikan formal yang sebenarnya di sekolah dasar. Menurut Montessori masa ini ditandai dengan masa peka terhadap segala stimulasi yang diterimanya melalui pancaindera. Masa peka memiliki arti penting bagi perkembangan setiap anak.
Piaget berpendapat bahwa, anak pada rentang usia ini, masuk dalam perkembangan berpikir praoperasional konkret. Pada saat ini sifat egosentris pada anak semakin nyata. Anak mulai memiliki perspektif yang berbeda dengan orang lainyang berbeda di sekitarnya. Orang tua sering menganggap periode ini sebagai masa sulit karena anak menjadi susah diatur, bisa disebut nakal atau bandel, suka membantah dan banyak bertanya. Anak mengembangkan keterampilan berbahasa dan menggambar, namun egois dan tak dapat mengerti penalaran abstrak atau logika.
Dalam kesempatan lain, Hurlock menyatakan bahwaanak usia 3-5 tahun adalah masa permainan. Bermain dengan benda atau alat permainadimulai sejak usia satu tahun pertama dan akan mencapai puncaknya pada usia 5-6 tahun. Menurut Piaget, usia 5-6 tahun ini merupakan praoperasional konkret. Pada tahap ini anak dapat memanipulasi objek symbol, termasuk kata-kata yang merupakan karakteristik penting dalam tahapan ini. Hal ini dinyatakan dalam peniruan yang tertunda dan dalam imajinasi pura-pura dalam bermain.
Menurut Montessori dalam Patmonodewo (2000), masa peka anak yang berada pafa usia 3,5 tahun ditandai dengan suatu keadaan di mana potensi yang menunjukkan kepekaan (sensitif) untuk berkembang. Dalam kaitan itu, menurut Dewey dalam Soejono (1960), pendidik atau orang tua harus memberikan kesempatan pada setiap anak untuk dapat melakukan sesuatu, baik secara individual maupun kelompok sehingga anak akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan. Sekolah harus dijadikan laboratorium bekerja bagi anak-anak.
Adapun Gessel dan Amatruda, mengemukakan bahwa anak usia 3-4 tahun telah mulai mampu berbicara secara jelas dan berarti. Kalimat-kalimat yang diucapkan anak semakin baik, sehingga masa ini dinamakan masa perkembangan fungsi bicara. Selanjutnya, pada usia 4-5 tahun yaitu masa belajar matematika.

1.2.4.      Ciri Emosional Anak Prasekolah
Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia ini. Iri hati pada anak usia dini ini sering terjadi. Mereka sering memperebutkan perhatian guru. Emosi yang tinggi pada umumnya disebabkan oleh masalah psikologisdibanding masalah fisiologis. Orang tua hanya memperbolehkan anak melakukan beberapa hal, padahal anak merasa mampu melakukan lebih banyak lagi. Hurlock mengemukakan pola-pola emosi umum pada awal masa kanak-kanak sebagai berikut:
a.       Amarah. Penyebab amarah yang paling umum ialah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan, dan serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat-lompat, atau memukul.
b.      Takut. Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut seperti cerita-cerita,  mulanya reaksi anak terhadap rasa takut ialah panik, kemudia menjadi lebih khusus lagi seperi lari, menghindar, bersembunyi, dan menangis.
c.       Cemburu. Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada orang lain di dalam keluarga, biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkan dengan kembali berperilaku seperti anak kecil seperti mengompol, pura-pura sakit, atau menjadi nakal yang berlebihan. Perilaku ini semuanya bertujuan untuk menarik perhatian orang tuanya.
d.      Ingin tahu. Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Reaksi pertama ialah dalam bentuk penjelajahan sensomotorik, kemudian sebagai akibat dari tekanan sosial dan hukuman, anak bereaksi dengan bertanya.
e.       Iri hati. Anak-anak sering iri hati mengenai kemapuan atau barang yang dimliki orang lain. Iri hati ini diungkapkan dalam bermacam-macam cara, yang paing umum ialah dengan mengeluh tentang barangnya sendiri, dengan mengungkapkan keinginan untuk memilki barang seperti yang dimiliki orang lain.
f.        Gembira. Anak-anak merasa gembira karena sehat, situasi yang tidak layak, bunyi yang tiba-tiba atau yang tidak diharapkan, bencana yang ringan, membohongi orang lain, dan berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Anak mengungkapkan kegembiraan dengan tersenyum dan tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat atau memeluk benda atau orang yang membuat bahagia.
g.       Sedih. Anak-anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting bagi dirinya, apakah itu orang, binatang, atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan.
h.       Kasih sayang. Anak-anak belajar mencintai orang lain, binatang, atau benda yang menyenangkannya. Anak mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar, tetapi ketika masih kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk, dan mencium objek kasih sayangnya.

1.3.            Pengertian Kesiapan Belajar
Secara umum kesiapan belajar merupakan kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Kesiapan sering kali disebut dengan “readiness”. Seorang baru dapat belajar tentang sesuatu apabila di dalam dirinya sudah terdapat “readiness” untuk mempelajari sesuatu itu.
Menurut Djamarah “readiness” sebagai kesiapan belajar adalah suatu kondisi seseorang yang telah dipersiapkan untuk melakukan suatu kegiatan. Maksud melakukan suatu kegiatan yaitu kegiatan belajar, misalnya mempersiapkan buku pelajaran sesuai dengan jadwal, mempersiapkan kondisi badan agar siap ketika belajar di kelas dan mempersiapkan perlengkapan belajar yang lainnya.

1.3.1.      Keterampilan Kunci Untuk Meningkatkan Kesiapan Sekolah Anak Prasekolah
Hasil beberapa kajian lebih menunjukkan bahwa secara umum tujuan utama pendidikan pra-sekolah adalah untuk meningkatkan kesiapan sekolah yang lebih difokuskan pada berbagai ketrampilan daripada konten akademik. Wylie (1998) mengemukakan bahwa ada beberapa ketrampilan-ketrampilan krusial yang akan dibutuhkan anak selama perjalanan pendidikannya mulai dari sekolah dasar dan seterusnya, diantaranya yaitu: ketrampilan menyimak dan mendengarkan, ketrampilan akademik, ketrampilan bekerja secara mandiri dan secara kelompok, serta ketrampilan berkomunikasi.
Sejalan dengan pandangan Wylie (1998), Muijs & Reynolds (2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesiapan sekolah, mungkin akan lebih baik jika pendidikan pra-sekolah memfokuskan pada ketrampilan sosial, menciptakan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan ketrampilan yang terkait dengan kesiapan sekolah. Lebih lanjut, Muijs & Reynolds (2008:280) mengemukakan beberapa ketrampilan kunci untuk meningkatkan kesiapan sekolah anak pra-sekolah, yaitu:
a.       Ketrampilan sosial, misalnya kemampuan untuk bekerjasama secara kooperatif, untuk menghormati orang lain, untuk mengekspresikan emosi dan perasaan dengan cara yang terhormat, untuk mendengarkan orang lain, untuk mengikuti aturan dan prosedur, untuk duduk dengan penuh perhatian, dan untuk bekerja secara maindiri. Pengembangan ketrampilan sosial pada anak pra-sekolah sangat krusial mengingat adanya beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bila seseorang anak belum mencapai kompetensi sosial minimal pada umur 6 tahun, di kelak kemudian hari ia akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan kompensi tersebut (Katz, 1997).
b.      Ketrampilan komunikasi, misalnya ketrampilan untuk meminta bantuan dengan cara yang baik dan sopan, ketrampilan untuk memverbalisasikan pikiran dan perasaan, menjawab pertanyaan terbuka dan tertutup, berpartisipasi dalam diskusi kelas, dan ketrampilan untuk menghubungkan berbagai ide dan pengalaman.
c.       Perilaku terkait-tugas, misalnya perilaku tidak mengganggu anak-anak lain selama proses belajar, ketrampilan anak untuk memantau perilakunya sendiri, menemukan bahan-bahan yang diperlukan guna menyelesaikan tugas, mengikuti pengarahan guru, menggeneraliasikan ketrampilan ke berbagai situasi, bersikap on-task selama mengerjakan pekerjaan yang melibatkan seluruh kelas, dan mencoba berbagai strategi untuk mengatasi masalah yang berbeda.

1.3.2.      Metode Pembelajaran Untuk Mengembangkan Kesiapan Sekolah Anak Prasekolah
Ada beberapa metode pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kesiapan sekolah pada anak usia pra-sekolah. Metode-metode pembelajaran berikut, merupakan metode pembelajaran yang banyak direkomendasikan oleh para pakar pendidikan pra-sekolah untuk mengembangkan kesiapan anak memasuki pendidikan sekolah dasar.
a.      Metode Bermain
Salah satu aspek utama pendidikan pra-sekolah adalah bermain. Bermain merupakan cara/jalan bagi anak untuk mengungkapkan hasil pemikiran, perasaan serta cara mereka menjelajahi dunia lingkungannya. Dengan bermain anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar secara menyenangkan. Bermain membantu anak menjalin hubungan sosial antar anak (Padmonodewo, 2003).
Peran guru dalam bermain adalah menyediakan lingkungan di mana murid-murid dapat bermain bersama menggunakan beragam bahan yang dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran dan perkembangan mereka (Muijs & Reynolds, 2008). Guru juga dapat bergabung di dalam permainan murid untuk memperluas permainan tersebut. Selama menggunakan metode bermain, guru hendaknya memastikan bahwa semua anak bergabung diberbagai kegiatan, dan perlu memperkenalkan ide-ide dan situasi-situasi baru. Hal tersebut dapat dilakukan selama proses bermain, dengan mengopservasi berbagai masalah anak dan membantu mereka mengatasinya. Sebagai contoh, saat menyusun balok, anak-anak pada awalnya akan menumpuk-numpuknya begitu saja dan mereka akan menemukan bahwa bangunan dari balok yang mereka susun akan cepat roboh. Dalam konteks tersebut, guru dapat menunjukkan kepada anak tentang bagaimana dinding kelas mereka dibangun sehingga dapat membantu mereka menyusun bangunan dari balok-balok tersebut secara lebih baik.
b.      Metode Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif dapat dimaknai anak-anak belajar dalam kelompok kecil, dan setiap anak dapat berpartisipasi dalam tugas-tugas bersama yang telah ditentukan dengan jelas, dan supervisi diarahkan oleh guru (Masitoh, dkk; 2005).
Belajar kooperatif mencakup semua jenis kerja kelompok, termasuk bentuk-bentuk kerja kelompok yang lebih dipimpin oleh guru atau di arahkan oleh guru (Muijs & Reynolds, 2008:89). Belajar kooperatif juga melibatkan anak untuk berbagi tanggung jawab antara guru dan anak untuk mencapai tujuan pendidikan. Peran guru adalah mendukung anak untuk belajar bersama-sama, sedangkan anak-anak melakukan tugas dan berperan sebagai teman sejawat dan tutor bagi anak-anak lainnya. Contoh tugas-tugas kooperatif dalam konteks pendidikan pra-sekolah antara lain adalah menciptakan nama kelompok, membuat makanan ringan, bekerjasama membuat menara, bekerjasama menyusun puzzel, dan menyelidiki bagaimana katak hidup.
Menurut Harmin (Masitoh, dkk; 2005:171), belajar kooperatif memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut:
·        Semua anggota bertanggung jawab untuk belajar dari dirinya sendiri dan belajar dari orang lain.
·        Anak-anak memberikan konstribusi terhadap anak lainnya dengan cara membantu, memberikan dorongan, mengkritik dan menghargai pekerjaan orang lain.
·        Setiap individu bertanggung jawab untuk mencapai hasil kelompok. Kegiatan dibangun sedemikian rupa sehingga setiap anak berbagi tanggung jawab untuk mencapai tujuan. Umpan balik diberikan kepada individu dan kelompok secara keseluruhan.
·        Anak-anak harus mempunyai kesempatan untuk menggambarkan kerja kelompoknya.
Dengan menggunakan metode belajar kooperatif pada pendidikan pra-sekolah diharapkan guru dapat:
·        Mengembangkan perasaan dan harga diri positif serta meningkatkan ketrampilan anak.
·        Meningkatkan kemampuan anak dalam mengerjakan tugas.
·        Meningkatkan toleransi di antara anak.
·        Meningkatkan kemampuan anak berbicara, mengambil prakarsa, membuat pilihan, dan secara umum mengembangkan kebiasaan belajar sepanjang hayat.

c.       Metode Drama dan Sandiwara Pendek
Cara lain guna memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk ikut ambil bagian di dalam kegiatan yang mereka nikmati, yang memiliki manfaat pendidikan cukup kuat, khususnya dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan berbicara anak. Melalui drama, anak diberi kesempatan untuk dapat terlibat di dalam percakapan yang berbeda dengan apa yang mereka lakukan sehari-hari, serta juga dapat membantu memperluas pemikiran mereka (Hendy dan Toon dalam Muijs & Reynolds, 2008).
d.      Metode Demonstrasi
Secara umum, demonstrasi melibatkan satu orang atau lebih untuk menunjukkan kepada orang lain bagaimana bekerjanya sesuatu dan bagaimana tugas-tugas itu dilaksanakan. Ketika seseorang mendemonstrasikan sesuatu, harus dilakukan pengamatan terhadap kegiatan yang dilaksanakan. Guru menggunakan metode demonstrasi untuk mendeskripsikan tentang sesuatu yang akan dilakukan anak-anak.
Menurut Masitoh, dkk. (2005), metode demonstrasi dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
·        Meminta perhatian anak.
·        Memperlihatkan sesuatu kepada anak-anak.
·        Meminta tanggapan atau respon anak terhadap apa yang mereka lihat dan dengar dengan tindakan dan kata-kata.
Dalam implementasinya, metode ini perlu dikombinasikan dengan metode-metode lainnya, mengingat demonstrasi hanya merupakan bagian kecil dari interaksi pembelajaran yang kompleks.
e.      Metode Diskusi Kelompok Kecil atau Diskusi Kelas
Metode diskusi merupakan sebuah metode yang menunjukkan adanya interaksi timbal balik atau multi arah antara guru dan anak (guru berbicara kepada anak atau anak yang berbicara kepada guru, dan anak berbicara dengan anak dengan anak). Diskusi menggabungkan strategi undangan, refleksi, pertanyaan, dan pernyataan. Dalam diskusi guru tidak membimbing percakapan tetapi mendorong anak-anak untuk mengemukakan gagasannya sendiri dan mengkomunikasikan gagasan secara lebih luas serta mendengarkan pendapat orang lain. Metode ini dapat membantu mengembangkann ketrampilan mendengarkan, ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan untuk menghasilkan ide-ide, serta menghormati pendapat orang lain.
f.        Metode Pemecahan Masalah
Kegiatan pemecahan masalah pada dasarnya merupakan salah satu variasi dari metode penemuan terbimbimbing.Harlan (1988) dan Hendrick (1997) dalam Masitoh, dkk. (2005) mengemukakan bahwa dalam kegiatan ini anak-anak terlibat secara aktif dalam kegiatan perencanaan, peramalan, pembuatan keputusan, mengamati hasil tindakannya, sedang guru lebih bertindak sebagai fasilitator yang membimbing dan mengarahkan anak dalam melakukan kegiatan pemecahan masalah secara lebih baik.
Terkadang ide masalah dapat muncul dari peristiwa yang terjadi secara alamiah, dan terkadang juga harus direncanakan terlebih dahulu oleh guru. Masalah yang paling baik bagi anak-anak adalah masalah yang memungkinkan mereka mengumpulkan informasi yang konkrit, dan mengandung lebih dari satu pemecahan masalah, dapat diamati, memudahkan anak-anak untuk mengevaluasinya, dan memungkinkan anak untuk membuat keputusannya sendiri. Masalah yang baik akan dapat menolong anak untuk menganalisis, menyampaikan dan mengevaluasi peristiwa, informasi dan ide. Masalah yang baik juga akan mampu mendorong anak untuk membuat hubungan secara mental dan membangun ide.
g.      Mengategorisasikan Objek
Seperti mainan atau bahan-bahan lain di kelas, menurut kriteria seperti bentuk, ukuran, atau warna akan membantu anak-anak mengembangkan ketrampilan klasifikasi dan kemampuan matematisnya. Guru perlu memastikan bahwa anak-anak menjelaskan kriteria yang mereka gunakan untuk mengklasifikasikan benda-benda tersebut dan usahakan semua anak memahami kriteria yang mereka gunakan.
1.4.            Pengertian Pendidikan Prasekolah
Di dalam Pasal 12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum bahwa selain pendidikan tinggi, juga terdapat pendidikan prasekolah.Batasan yang dipergunakan oleh The National Association for The Education of Young Children (NAEYC), dan para ahli pada umnya sebagai berikut:
§         Yang dimaksudkan dengan “Early Childhood” (anak masa awal) adalah anak yang sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun. Batasan ini seringkali dipergunaakan untuk merujuk anak yang belum mencapai usia sekolah dan masyarakat menggunakannya bagi berbagai tipe prasekolah.
§         Early Childhood Setting (tatanan anak masa awal) menunjukkan pelayanan untuk anak sejak lahir sampai dengan delapan tahun di suatu pusat penyelenggaraan, rumah, atau institusi, seperti kindergarten, Sekolah Dasar dan program rekreasi yang menggunakan sebagian waktu atau penuh waktu.
§         Early Childhood Education (pendidikan awal masa anak) terdiri dari pelayanan yang diberikan dalam tatanan awal masa anak. Biasanya oleh para pendidik anak usia dini (young children) digunakan istilah early childhood (anak masa awal) dan early childhood education (pendidikan anak masa awal) dianggap sama atau sinonim.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan “ Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah,” adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangka pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidiika sedini mungkin dan seumur hidup.
Pendidikan prasekolah, menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1990 tentang pendidikan prasekolah, mempunyai tujuan untuk meletakkan dasar perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta anak didik di dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Di samping hal tersebut, pendidikan prasekolah juga membantu untuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki jalur pendidikan sekolah. Hal yang perlu digarisbawahi pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 tahun 1990 ini adalah pendidikan prasekolah tidak merupakan persyaratan untuk memasuki sekolah dasar. Dengan demikian, mengikuti pendidikan prasekolah seperti Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain dan Tempat Penitipan Anak maupun bentuk lainnya, bukan suatu hal yang wajib diikuti oleh seorang anak usia 3-5 tahun. Namun, adanya gejala (yang semakin umum dan meluas) pada pendaftaran murid baru Kelas 1 Sekolah Dasar untuk menyertakan Rapor TK, menunjukkan bahwa kegiatan pendidikan prasekolah ini termasuk dipentingkan oleh penyelenggara pendidikan dasar.
Anak-anak calon murid Kelas 1 SD yang berasal dari TK dibandingkan dengan yang belum pernah pernah mengikuti TK, akan jelas terlihat perbedaan performance-nya. Mereka yang mengikuti pendidikan prasekolah sudah terbiasa dan terampil untuk membaca huruf, suku kata dan kalimat serta sekaligus merangkaikannyadalam tulisan. Sebaliknya, anak-anak yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan prasekolah (dan tidak dilatih oleh orang tua dirumah karena dianggap porsi pelajaran skolastik adalah urusan guru), tampak agak tertinggal.

1.5.            Tujuan Prasekolah
Ada beberapa negara di dunia mempunyai perbedaan mengenai pendidikan prasekolah contohnya saja di negara Cina, prasekolah diharapkan untuk memberikan persiapan akademis untuk bersekolah. Namun sebaliknya di negara besar seperti Amerika Serikat prasekolah secara tradisional mengikuti filosofi “berpusat pada anak-anak” (child-centered) menekankan pertumbuhan sosial dan emosional yang sejalan dengan kebutuhan perkembangan anak walaupun sebagian, yang mendasarkan diri kepada teori pendidik Italia Maria Montessori atau Piaget, memiliki penekanan kogntif yang lebih kuat.
Pendidikan prasekolah di Jepang berbeda dengan yang terdapat di AS, walaupun masalah yang sama juga mengemuka disana. Prasekolah Jepang biasa, searah dengan nilai kultural yang dapat diterima berpusat pada masyarakat (society centered). Sekolah tersebut menekankan keterampilan dan sikap yang menghadirkan keharmonisan kelompok, seperti mengucapkan salam kepada guru dengan benar. Dua bentu prasekolah lain yang baru-baru ini muncul di Jepang aalah child centered (berpusat pada anak) dan role-centered (berpusat pada masyarakat).
Tujuan utama pendidikan pra-sekolah adalah membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar (Puskur, 2003). Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa fungsi pendidikan pra sekolah, yang mana salah satu diantaranya adalah untuk menyiapkan anak didik memasuki pendidikan dasar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selain bertujuan dan berfungsi untuk menstimulasi tumbuh kembang anak, pendidikan pra-sekolah sesungguhnya juga berperan penting untuk mengembangkan kesiapan anak didik dalam memasuki pendidikan sekolah dasar.
Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Wylie (1998) menunjukkan bahwa anak-anak yang mengikuti pendidikan pra-sekolah memperlihatkan prestasi belajar yang lebih baik di sekolah dasar dibandingkan dengan murid-murid yang tidak mengikuti pendidikan pra-sekolah. Menurut Wylie (1998), beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa murid-murid mendapatkan manfaat yang lebih besar bila pendidikan pra-sekolah itu sudah dimulai sebelum umur tiga tahun (umur dimulainya pendidikan pra-sekolah di kebanyakan negara). Sebagaimana juga ditunjukkan oleh hasil penelitian mutakhir di Selandia Baru, bahwa anak-anak yang mengalami paling tidak tiga tahun pendidikan pra-sekolah memperlihatkan skor yang lebih tinggi pada tes kompetensi dibanding sebayanya pada usia 10 tahun (Wylie dan Thompson, 2003).
Secara umum, menurut Stipek dan Ogawa (Kagan dan Hallmark, 2001), program-program pra-sekolah ditemukan memberikan manfaat jangka pendek maupun jangka panjang, seperti prestasi akademik yang lebih tinggi, angka tinggal kelas yang lebih rendah, angka kelulusan yang lebih tinggi, dan angka kenakalan yang lebih rendah dikelak kemudian hari.

1.6.            Tipe Prasekolah
Prasekolah merupakan suatu  pilihan pendidikan bagi kanak-kanak sebelum memasuki sekolah formal. Walaupun beberapa orang menganggap bahwa masuk prasekolah tidak diharuskan, apalagi mengingat biaya yang tidak sedikit. Apabila orangtua atau pengasuh sudah mampu menerapkan berbagai parenting style yang tepat, anak tidak harus masuk sekolah sebelum usia 5 tahun. Dengan pola pengasuhan yang baik di rumah, anak justru bisa bermain dengan lebih bebas dan tenang. Tentunya juga perlu tambahan pengalaman bermain di luar rumah dengan para tetangga. Sebaliknya beberapa orang beranggapan bahwa seorang anak harus menempuh pendidikan prasekolah mengingat begitu banyaknya keuntungan dan perubahan positif yang diperoleh.
Bagi anak usia 4-5 tahun perlunya dilakukan pengembangkan kemampuan dalam hal sosialisasi karena mereka akan mulai bermain bersama dengan teman sebayanya. Stimulasi pada anak juga harus diperhatikan seperti dalam hal aspek motorik, bahasa, kognitif, sosial-emosi, dan kemandirian. Apabila beberapa aspek ini sudah terpenuhi dalam diri seorang anak maka saat anak tersebut melanjut ke sekolah formal, ia tidak akan menemukan kendala yang besar. Sebaliknya jika beberapa aspek ini kurang terpenuhi dalam diri seorang anak maka akan adanya kendala yang cukup rumit baik bagi anak tersebut maupun orangtunya.
Walaupun di prasekolah (Kelompok Bermain & Taman Kanak-kanak) ada kegiatan baca, tulis, hitung maka hal itu sebaiknya bukan menjadi target utama pembelajaran. Pengenalan hal tersebut di prasekolah seharusnya  dilakukan bukan dengan cara memaksa dan drilling, tetapi lebih mengenalkannya lewat lagu dan permainan. Melalui lagu dan permainan, kemampuan baca, tulis, dan berhitung anak bisa berkembang dengan baik dan tidak membuat anak stres. Namun kenyataannya tetap saja, ada TK yang memfokuskan ke membaca, menulis dan berhitung dengan alasan lebih diminati dan memang diminta orang tua.
Beberapa prasekolah juga mendidik anak yang berusia dibawah 4 tahun bahkan ada yang mendidik anak yang berusia 6 bulan. Sebaiknya, anak yang berusia dibawah 2 tahun tidak perlu dimasukkan ke prasekolah karena anak tersebut masih lebih menggantungkan dirinya kepada orangtuanya. Untuk itu, beberapa ciri-ciri anak yang sebaiknya mengikuti pendidikan prasekolah adalah anak yang berusia sekitar 4-6 tahun dan sudah memiiki kemampuan motorik yang baik.
Tipe prasekolah apa yang baik untuk anak?  Berbagai studi di Amerika Serikat mendukung pendekatan perkembangan berpusat pada anak. Salah satu studi lapangan (Marcon, 1999) membandingkan 721 anak Afro-Amerika berusia 4-5 tahun dari keluarga berpenghasilan rendah yang berasal dari tiga tipe prasekolah di Washington, D. C.; child-initiated, academically directed, dan middle-of-the road (campuran dari dua pendekatan sebelumnya). Anak-anak yang berasal dari program child-initiated, di mana mereka secara aktif mengarahkan pengalaman belajar mereka, memiliki hasil yang bagus dalam keterampilan akademis dasar. Mereka juga memiliki keterampilan motoris yang lebih maju dibandingkan dua kelompok dan dinilai lebih tinggi dibandingkan kelompok middle-of-the road dalam keterampilan berperilaku dan berkomunikasi. Temuan ini menyatakan bahwa filosofi pendidikan tunggal yang koheren bekerja lebih baik dibandingkan dengan upaya menyatukan pendekatan yang berbeda. Temuan tersebut juga menyatakan bahwa pendekatan yang berfokus kepada anak lebih efektif dibandingkan dengan yang berfokus pada akademis.

1.7.            Transisi ke Taman Kanak-kanak
Pendidikan anak prasekolah merupakan bentuk transisi perkembangan anak dari lingkungan keluarga kepada lingkungan sekolah. Masa transisi ini merupakan masa yang cukup sulit namun menyenangkan bagi anak, karena kesiapan pada setiap anak dalam melalui masa transisi ini berbeda-beda, hal ini juga dipengarui oleh dukungan dari keluarga pengasuh si anak itu sendiri, dimana dukungan orangtua dalam membimbing anak secara informal sangat dibutuhkan untuk mendukung bimbingan yang diperoleh anak dari pendidikan prasekolah sebagai sektor formal. Salah satu jenis lembaga pendidikan anak prasekolah yang telah dikenal di Indonesia ialah Taman Kanak-kanak (TK).
Taman Kanak-kanak merupakan wadah yang disediakan untuk anak berusia 4-6 tahun. Menurut Brickenridge dan Vincent (1966) pendidikan TK dapat memperluas pengalaman sosial dan intelektual anak. Tujuan pendidikan prasekolah seperti Taman Kanak-kanak (TK) adalah untuk memberikan stimulasi dan bimbingan terhadap kebutuhan fisik dan pertumbuhannya, serta meningkatkan kemampuan intelektual dan hubungan sosial sebagai persiapan untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan prasekolah dapat membantu perkembangan anak. Secara terinci Hurlock (1978) menyebutkan ada 10 aspek perkembangan yang dapat mendorong pertumbuhannya melalui pendidikan prasekolah. Kesepuluh aspek tersebut ialah kesehatan fisik, keterampilan, kemampuan berbicara (berkomunikasi), perkembangan emosi, perilaku sosial, sikap sosial, kreativitas, disiplin, konsep diri dan penyesuaian sekolah. Papalia Olds (1986) menyatakan bahwa pendidikan prasekolah membantu perkembangan anak dalam berbagai aspek yaitu fisik, intelektual, sosial, dan emosional. Perasaan otonomi anak berkembang dengan adanya kesempatan bereksplorasi diluar rumah. Adanya kesempatan bermain dengan anak-anak lain menjadikan mereka memiliki banyak kesempatan untuk bekerjasama dan memahami perspektif serta perasaan orang lain. Adapun aspek-aspek keuntungan pendidikan prasekolah sebagai berikut:

1.      Aspek Sosial

            Kebutuhan Sosial pada anak-anak mengungkapkan bahwa anak-anak membutuhkan orang lain dan selalu ingin berhubungan dengan orang lain dalam proses perkembangannya. Hal ini karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk individu dan sekaligus juga sebagai makhluk sosial (Nuryoto, 1995). Hubungan sosial anak semakin meluas karena kebutuhan sosialnya juga akan semakin kompleks. Mereka sudah butuh teman sebaya, perlu memahami orang dewasa selain orang tua, misalnya gurunya.
Dalam kesiapan ini, anak akan merasa senang masuk TK, karena mereka akan mempunyai banyak teman dan dapat bermain dengan leluasa. Pada usia prasekolah ini, anak memiliki kontak intensif dengan teman sebaya. Berbagai pola tingkah laku anak timbul dengan cara menirukan, belajar-model, dan oleh penguat dari pihak teman-teman sebaya.

2.      Aspek Kognitif

            Kebutuhan secara kognitif (intelektual) akan tampak pada anak dengan adanya keinginannya untuk mengetahui sesuatu yang ada di lingkungannya. Anak ingin berprestasi, ingin mengamati sesuatu secara serius, ingin mengetahui hal-hal baru, mencoba sesuatu, menciptakan sesuatu, dan sebagainya. Pada masa ini, anak akan banyak bertanya tentang segala sesuatu yang dilihat atau didengarnya dengan pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana (Nuryoto, 1995). Keinginan untuk berprestasi ini harus diberi stimulasi bila kita akan menyambut dorongan manipulasi dan eksplorasi anak.

3.      Aspek Emosional

            Kebutuhan emosional anak juga akan terpenuhi dengan adanya kesempatan untuk bereksplorasi dalam ekspresi emosi anak pada lingkungan prasekolahnya. Emosi anak akan berkembang secara sehat kalau anak mendapatkan bimbingan secara tepat dengan penuh kasih sayang. Dengan mendapatkan perlakuan yang tepat, anak akan merasa aman dan mampu mengembangkan emosinya secara positif, juga akan semakin memupuk rasa percaya diri pada anak (Nuryoto, 1995). Selanjutnya (Hurlock, 1984) ketelantaran emosional pada anak seperti keterbatasan akan rasa ingin tahu, kasih sayang dan kebahagiaan, akan membatasi perkembangan kepribadian anak.

4.      Aspek Fisik

            Kebutuhan Fisik merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pertumbuhan dan kesehatan fisik, misalnya makanan, udara segar, sinar matahari, tidur atau istirahat. Dengan adanya lingkungan prasekolah, maka kegiatan-kegiatan yang memerlukan aktifitas fisik seperti olahraga, bermain tali, memanjat, mencoret-coret, akan mempengaruhi perkembangan otot dan motorik anak. Keberhasilan anak dalam menghadapi tantangan fisik ini mempunyai arti yang lebih luas bagi anak, dalam hal perkembangan pribadi, anak akan merasa mampu dan berani dalam mencoba hal-hal baru dan akan mempengaruhi perkembangan kecerdasannya.
Dalam sebuah kelompok penelitian, yang diikuti oleh 399 siswa taman kanak-kanak sepanjang 1 tahun, menemukan sejumlah faktor saling terkait yang memengaruhi pencapaian kognitif dan penyesuaian sosial. Resiko yang sudah ada dan faktor protektif yang berkaitan dengan anak dan lingkungan rumah berinteraksi dengan karakteristik alamiah dari lingkungan kelas, seperti perkembangan hubungan antara anak dengan guru dan teman sebaya, dan efek yang muncul terus menguat dari waktu ke waktu.
Anak yang menunjukkan perilaku prososial di awal menjadi lebih disukai sedangkan anak yang sudah menunjukkan prilaku non-sosial di awal menjadi semakin tidak disukai. Jenis yang terakhir sering kali terlibat konflik dengan guru, kurang berpartisipasi, dan mendapatkan prestasi yang lebih rendah. Anak-anak yang lebih matang secara kognitif memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berpartisipasi, dan mereka yang berpartisipasi lebih banyak akan mendapatkan lebih banyak. Latar belakang keluarga yang mendukung juga mempengaruhi prestasi (Ladd, Birch, & Buhs, 1999).  Anak-anak yang ditolak oleh teman sebayanya cenderung kurang berpartisipasidalam kelas dan kurang berprestasi. Mereka cenderung merasa sendiri dan ingin terus berada di rumah (Buhs & Ladd, 2001).
Terdapat usulan untuk memperpanjang jumlah tahun sekolah, baik bagi taman kanak-kanak maupun bagi tingkatan yang lebih tinggi. Ketika sekolah dasar di kota ukuran menengah di tenggara menambah 30 hari ke dalam jumlah hari akademisnya, taman kanak-kanak yang menjalani program belajar 210 hari mengalahkan para murid taman kanak-kanak tradisional yang berjumlah 180 hari dalam tes matematika, membaca, pengetahuan umum, dan kompetisi kognitif pada awal tingkat pertama (Frazier & Morrison, 1998). Perkembangan keterampilan fisik dan kognitif masa kanak-kanak awal memiliki implikasi psikososial.

1.8.            Program Prasekolah Pengganti
Makin tinggi sosialekonomi suatu keluarga semakin siap seorang anak untuk bersekolah. Diperkirakan dua per tiga anak kurang mampu memasuki sekolah dengan persiapan belajar yang buruk(Ziggler,1998). Sejak tahhun 1960-an, program berskala besar telah dikembangkan untuk membantu anak-anak dan mempersiapkan mereka bersekolah.
Program prasekolah pengganti terbaik bagi anak kurang mampu di Amerika adalah Project Head Start, program sumbangan federal yang diluncurkan pada 1965. Targetnya tidak hanya meningkat kemampuan kognitif tetapi juga meningkatkan kesehatan mental, mengembangkan percaya diri, hubungan dengan orang lain, tanggung jawab, dan rasa kehormatan dan harga diri bagi anak dan keluarga.
Sebagaian besar kesuksesan program Head Start adalah dikarenakan partisipasi orang tua, guru yang terlatih, dan pelayanan yang baik. Akan tetapi, ketika program pengganti tidak diteruskan setelah anak masuk sekolah, kemampuan kognitif cenderung hilang.
Perkembangan pendidikan prasekolah tidak hanya terjadi di negara yang telah maju saja, tetapi juga dinegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Berbagai macam pelayanan pendidikan prasekolah ditemukan di sekitar kehidupan kita seperti taman kanak-kanak(TK), pendidikan anak usia dini(PAUD), Day Care/TPA. Taman Kanak-kanak adalah sarana sekolah untuk anak prasekolah. program ini telah dikembangkan sejak abad ke-18 oleh Froebel seorang pendidik yang berasal dari Jerman. Seperti program prasekolah lainnya, di taman kanak anak-anak diaajarkan kemampuan untuk berbahasa, kognitif, kemampuan fisik motorik, dan seni.
Dalam kemampuan berbahasa anak mampu mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, dan memiliki perbendaharaan kata yang baik. Kemampuan kognitif anak juga mampu mengenal konsep sederhana dlam kehidupan sehari-hari. Anak juga mampu untuk melakukan aktivitas fisik secara terkordinasi. Biasanya Taman Kanak-Kanak disediakan untuk menghadapi masa sekolah atau memasuki tingkat bsekolah dasar (SD).
TPA/day care merupakan pengasuhan anak dalam kelompok. biasanya dilaksanakan pada saat jam kerja. Day care merupakan upaya yang terorganisasi untuk mengasuh anak-anak di luar rumah mereka selama beberapa jam dalam waktu satu hari bilamana asuhan orangtua kurang dapat dilaksanakan secara lengkap. Dalam hal ini pengertian Day care hanya sebagai pelengkap terhadap asuhan orangtua dan bukan sebagai pengganti asuhan orangtua.TPA juga diperuntukkan anak dalam keluarga yang kurang beruntung. TPA diperuntukkan jika anak mengalami hambatan karena orang tua dan ibu bekerja.

1.9.            Orang Tua dan Pendidikan Prasekolah
Adalah suatu kenyataan bahwa orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Apabila anak telah masuk sekolah, orangtua adalah mitra kerja yang utama bagi guru anaknya. Bahkan sebagai orangtua, mereka mempunyai berbagai peran pilihan yaitu: orang tua sebagai pelajar, orang tua sebagai relawan, orang tua sebagai pembuat keputusan, orang tua sebagai anggota tim kerjasama guru-orang tua. Dalam peran-peran tersebut memungkinkan orang tua membantu meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka.
Baik orang tua maupun guru selalu berharap agar anak atau anak didiknya akan mampu mencapai prestasi dan tumbuh serta berkembang secara optimal. Walaupun demikian pada kenyataannya tidak mudah menjalin kerja sama antara kedua belah pihak tersebut. Baik orang tua maupun guru seringkali tidak memiliki pandangan yang sama terhadap pendidikan, khususnya dalam mendisiplin, hubungan antara anak dan orang dewasa, anak lelaki dan perempuan, atau budayanya.
Ada berbagai cara bagaimana guru dapat membantu para orang tua melalui pendidikan anaknya. Tetapi sebaiknya para guru tidak terlalu banyak mengkritik atau menuntut para orang tua, karena pada umumnya yang dibutuhkan adalah bantuan bukan kritik. Demikian pula sebaliknya, yang lebih penting adalah kerja sama.
Partisipasi orang tua di sekolah pada umumnya guna meningkatkan prestasi anak di sekolah. Apabila memiliki program sekolah yang baik dan orang tua mau membantu, umumnya prestasi dan keterampilan anak akan meningkat.
Para pendidik telah menyadari usaha guru dalam mengajar akan lebih efektif hasilnya apabila orang tua ikut membantu dalam pendidikan tersebut. Sebaliknya apabila orang tua menyadari bahwa disiplin sekolah adalah satu hal yang terpenting, biasanya orang tua akan bersedia membantu kegiatan belajar mengajar anaknya dalam kegiatan yang berhubungan dengan tugas sekolah. Beberapa hal telah membuktikan bahwa ternyata makin orang tua menyadari pentingnya program sekolah, makin langsung dan besar keterlibatan orang tua.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.