1.1.
Pengertian
Anak Prasekolah
Yang
dimaksudkan dengan anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun
menurut Biechler dan Snowman (1993). Mereka biasanya mengikuti program
prasekolah dan kindergarten. Sedangkan
di Indonesia, umumnya mereka mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 bulan
-5 tahun) dan Kelompok Bermain (usia3 tahun), sedangkan pada usia4-6 tahun
biasanya mereka mengikuti program Taman Kanak-Kanak.
Masa
prasekolah dapat merupakan masa-masa bahagia dan amat memuaskan dari seluruh
masa kehidupan anak. Untuk itulah kita perlu menjaga hal tersebut berjalan
sebagaimana adanya. Janganlah memaksakan sesuatu karena diri kita sendiri dan
mengharapkan secara banyak dan segera, maupun mencoba untuk melakukan hal-hal
yang memang mereka belum siap. Suatu hal yang tidak mudah untuk mengajari anak
untuk berhitung, membaca ataupun menulis pada masa-masa pertama kehidupannya.
Masa
prasekolah adalah masa pertumbuhan. Masa-masa ini adalah masa menemukan orang
seperti apa anak tersebut, dan teknik apakah yang bisa cocok dalam menghadapinya.
Masa prasekolah adalah masa belajar, tetapi bukan dalam dunia dua dimensi
(pensil dan kertas) melainkan belajar pada dunia nyata, yaitu dunia tiga
dimensi. Dengan perkataan lain, masa prasekolah merupakan time for play.
Frank
dan Theresa Caplan dalam buku The Power
of Play menyebutkan bahwa pada masa prasekolah yang ditekankan adalah
bermain. Waktu bermain merupakan sarana pertumbuhan. Pada tahun-tahun pertama
kehidupannya, anak membutuhkan bermain sebagai sarana untuk tumbuh dalam
lingkungan budaya dan kesiapannya dalam belajar formal. Bermain merupakan
aktivitas yang spontan dan melibatkan motivasi serta prestasi dalam diri anak
yang mendalam.
Dalam
dunianya, seorang anak merupakan decision
maker dan play master. Dengan
bermain, anak bebas beraksi dan juga mengkhayalkan sebuah dunia lain, sehingga
dengan bermain ada elemen petualangan.
1.2.
Ciri-Ciri
Anak Prasekolah
1.2.1. Ciri Fisik Anak Prasekolah
Penampilan
maupun gerak-gerik anak taman kanak-kanak mudah dibedakan dengan anak yang
berada dalam tahapan sebelumnya. Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka
telah memiliki peguasaan (control) terhadap
tubuhnya, sangat meyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. Otot-otot besar pada
anak taman kanak-kanak lebih berkembang dari control jari dan tangan. Oleh karena
itu, biasanya anak belum terampil dalam kegiatan yang rumit seperti mengikat
tali sepatu.Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan
pandangannya pada objek-objek yang kecil ukurannya, itu sebabnya koordinasi
tangan dan matanya masih kurang sempurna. Walaupun tubuh anak ini lentur,
tetatpi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak. Oleh karena itu,
hendaknya berhati-hati bila anak berkelahi dengan teman-temannya. Orang tua
atau guru harus senantiasa mengawasi dengan cermat dan telaten.
1.2.2. Ciri Sosial Anak Prasekolah
Anak
prasekolah telah menyadari peran jenis kelamin dan sex typing. Setelah anak
masuk TK, umumnya pada mereka telah berkembang kesadaran terhadap perbedaan
jenis kelamin dan peran sebagai anak lelaki dan anak perempuan. Kesadaran ini
tampak pada pilihan terhadap alat permainan dan aktivitas bermain yang dipilih
anak lelaki dan anak perempuan. Anak lelaki umumnya lebih menyukai bermain di
luar, bermain kasar dan bertingkah laku agresif. Anak perempuan lebih suka bermain
bersifat kesenian, bermain boneka, dan menari.
Paten
(1932), mengamati tingkah laku sosial anak usia dini ketika mereka sedang
bermain bebas sebagai berikut:
a.
Tingkah
laku unoccupied. Anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin berdiri
di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apapun.
b.
Bermain
soliter. Anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan berbeda
dengan apa yang dimainkan oleh teman yang ada di dekatnya. Mereka tidak
berusaha untuk saling bicara.
c.
Tingkah
laku onlooker. Anak menghabiskan waktu dengan mengamati. Kadang memberi
komentar apa yang dimainkankan anak
lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain bersama.
d.
Bermain
parallel. Anak bermain dengan salin berdekatan, tetapi tidak sepenhnya
bermain bersama dengan anak yang lain. Mereka menggunakan alat mainan yang
sama, berdekatan tetapi dengan cara yang tidak saling bergantung.
e.
Bermain
asosiatif. Anak bermain dengan anak lain tetapi tanpa organisasi. Tidak ada
peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri.
f.
Bermain
kooperatif. Anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi, ada
pimpinannya. Masing-masing anak melakukan kegiatan bermain dalam kegiatan
bersama, misalnya perang-perangan, sekolah-sekolahan, dan lain-lain. Sejalan
dengan perkembangan kognitif anak. Piaget mengemukakan perkembangan permainan
anak usia dini sebagai masa symbolic make
play (berlangsung dari 2-7 tahun).
Pola
Bermain
Pola
bermain anak prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuia dengan kelas sosial
dan ‘gender’. Keneth Rubin dkk
(1976), melakukan pengelompokan setelah mengamati kegiatan bermain bebas anak
prasekolah yang dihubungkan dengan kelas sosial dan kognitif anak, yaitu:
·
1. Bermain fungsional. Melakukan pengulangan
gerakan-gerakan otot dengan atau tanpa
objek-objek.
·
2. Bermain konstruktif. Melakukan manipulasi
terhadap benda-benda dalam kegiatan membuat konstruksi
atau mengkreasi/
mencipatakan sesuatu.
·
3. Bermain dramatik, adalah dengan menggunakan
situasi yang imajiner.
·
4. Bermain dengan mennggunakan aturan
Paten
dan Rubin dkk menemukan bahawa anak-anak dari kelas ekonomi rendah lebih sering
melakukan bermain yang fungsional dan bermain parallel dibandingkan dari anak
yang berasal dari kelas menengah. Dari kelas menengah lebih banyak bermain
asosiatif, kooperatif, dan konstruktif.
Sedangkan
anak perempuan lebih banyak soliter, konstruktif-paralel, dan dramatik,
dibandingkan dengan anak lelaki. Anak lelaki lebih banyak bermain
fungsional-soliter dan asosiatifdramatik daripada anak perempuan.
1.2.3. Ciri Kognitif Anak Prasekolah
Pada
rentang usia 3-4 sampai 5-6 tahun, anak mulai memasuki masa prasekolah yang
merupakan masa kesiapan untuk memasuki pendidikan formal yang sebenarnya di
sekolah dasar. Menurut Montessori masa ini ditandai dengan masa peka terhadap
segala stimulasi yang diterimanya melalui pancaindera. Masa peka memiliki arti
penting bagi perkembangan setiap anak.
Piaget
berpendapat bahwa, anak pada rentang usia ini, masuk dalam perkembangan
berpikir praoperasional konkret. Pada saat ini sifat egosentris pada anak
semakin nyata. Anak mulai memiliki perspektif yang berbeda dengan orang
lainyang berbeda di sekitarnya. Orang tua sering menganggap periode ini sebagai
masa sulit karena anak menjadi susah diatur, bisa disebut nakal atau bandel,
suka membantah dan banyak bertanya. Anak mengembangkan keterampilan berbahasa
dan menggambar, namun egois dan tak dapat mengerti penalaran abstrak atau
logika.
Dalam
kesempatan lain, Hurlock menyatakan bahwaanak usia 3-5 tahun adalah masa
permainan. Bermain dengan benda atau alat permainadimulai sejak usia satu tahun
pertama dan akan mencapai puncaknya pada usia 5-6 tahun. Menurut Piaget, usia
5-6 tahun ini merupakan praoperasional konkret. Pada tahap ini anak dapat
memanipulasi objek symbol, termasuk kata-kata yang merupakan karakteristik
penting dalam tahapan ini. Hal ini dinyatakan dalam peniruan yang tertunda dan
dalam imajinasi pura-pura dalam bermain.
Menurut
Montessori dalam Patmonodewo (2000), masa peka anak yang berada pafa usia 3,5
tahun ditandai dengan suatu keadaan di mana potensi yang menunjukkan kepekaan
(sensitif) untuk berkembang. Dalam kaitan itu, menurut Dewey dalam Soejono
(1960), pendidik atau orang tua harus memberikan kesempatan pada setiap anak
untuk dapat melakukan sesuatu, baik secara individual maupun kelompok sehingga
anak akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan. Sekolah harus dijadikan
laboratorium bekerja bagi anak-anak.
Adapun
Gessel dan Amatruda, mengemukakan bahwa anak usia 3-4 tahun telah mulai mampu
berbicara secara jelas dan berarti. Kalimat-kalimat yang diucapkan anak semakin
baik, sehingga masa ini dinamakan masa perkembangan fungsi bicara. Selanjutnya,
pada usia 4-5 tahun yaitu masa belajar matematika.
1.2.4. Ciri Emosional Anak Prasekolah
Anak
prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap
marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia ini. Iri hati pada anak usia
dini ini sering terjadi. Mereka sering memperebutkan perhatian guru. Emosi yang
tinggi pada umumnya disebabkan oleh masalah psikologisdibanding masalah
fisiologis. Orang tua hanya memperbolehkan anak melakukan beberapa hal, padahal
anak merasa mampu melakukan lebih banyak lagi. Hurlock mengemukakan pola-pola
emosi umum pada awal masa kanak-kanak sebagai berikut:
a. Amarah. Penyebab amarah yang paling
umum ialah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan, dan
serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan
ledakan amarah yang ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang,
melompat-lompat, atau memukul.
b. Takut. Pembiasaan, peniruan, dan
ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam
menimbulkan rasa takut seperti cerita-cerita,
mulanya reaksi anak terhadap rasa takut ialah panik, kemudia menjadi lebih khusus lagi seperi
lari, menghindar, bersembunyi, dan menangis.
c. Cemburu. Anak menjadi cemburu bila ia
mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada orang lain di dalam
keluarga, biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat
mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkan dengan kembali
berperilaku seperti anak kecil seperti mengompol, pura-pura sakit, atau menjadi
nakal yang berlebihan. Perilaku ini semuanya bertujuan untuk menarik perhatian
orang tuanya.
d. Ingin tahu. Anak mempunyai rasa ingin
tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan
tubuh orang lain. Reaksi pertama ialah dalam bentuk penjelajahan sensomotorik,
kemudian sebagai akibat dari tekanan sosial dan hukuman, anak bereaksi dengan
bertanya.
e. Iri hati. Anak-anak sering iri hati
mengenai kemapuan atau barang yang dimliki orang lain. Iri hati ini diungkapkan
dalam bermacam-macam cara, yang paing umum ialah dengan mengeluh tentang
barangnya sendiri, dengan mengungkapkan keinginan untuk memilki barang seperti
yang dimiliki orang lain.
f.
Gembira.
Anak-anak merasa gembira karena sehat, situasi yang tidak layak, bunyi yang
tiba-tiba atau yang tidak diharapkan, bencana yang ringan, membohongi orang
lain, dan berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Anak mengungkapkan
kegembiraan dengan tersenyum dan tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat atau
memeluk benda atau orang yang membuat bahagia.
g. Sedih. Anak-anak merasa sedih karena
kehilangan segala sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting bagi
dirinya, apakah itu orang, binatang, atau benda mati seperti mainan. Secara
khas anak mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan
minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan.
h. Kasih sayang. Anak-anak belajar
mencintai orang lain, binatang, atau benda yang menyenangkannya. Anak
mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar, tetapi ketika masih
kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk, dan mencium
objek kasih sayangnya.
1.3.
Pengertian
Kesiapan Belajar
Secara umum kesiapan belajar merupakan kemampuan
seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan.
Kesiapan sering kali disebut dengan “readiness”. Seorang baru dapat belajar
tentang sesuatu apabila di dalam dirinya sudah terdapat “readiness” untuk
mempelajari sesuatu itu.
Menurut Djamarah “readiness” sebagai kesiapan
belajar adalah suatu kondisi seseorang yang telah dipersiapkan untuk melakukan
suatu kegiatan. Maksud melakukan suatu kegiatan yaitu kegiatan belajar,
misalnya mempersiapkan buku pelajaran sesuai dengan jadwal, mempersiapkan
kondisi badan agar siap ketika belajar di kelas dan mempersiapkan perlengkapan
belajar yang lainnya.
1.3.1.
Keterampilan Kunci Untuk Meningkatkan Kesiapan Sekolah Anak Prasekolah
Hasil
beberapa kajian lebih menunjukkan bahwa secara umum tujuan utama pendidikan
pra-sekolah adalah untuk meningkatkan kesiapan sekolah yang lebih difokuskan
pada berbagai ketrampilan daripada konten akademik. Wylie (1998) mengemukakan
bahwa ada beberapa ketrampilan-ketrampilan krusial yang akan dibutuhkan anak
selama perjalanan pendidikannya mulai dari sekolah dasar dan seterusnya,
diantaranya yaitu: ketrampilan menyimak dan mendengarkan, ketrampilan akademik,
ketrampilan bekerja secara mandiri dan secara kelompok, serta ketrampilan
berkomunikasi.
Sejalan
dengan pandangan Wylie (1998), Muijs & Reynolds (2008) menyatakan bahwa
untuk meningkatkan kesiapan sekolah, mungkin akan lebih baik jika pendidikan
pra-sekolah memfokuskan pada ketrampilan sosial, menciptakan kesempatan untuk
belajar dan mengembangkan ketrampilan yang terkait dengan kesiapan sekolah.
Lebih lanjut, Muijs & Reynolds (2008:280) mengemukakan beberapa ketrampilan
kunci untuk meningkatkan kesiapan sekolah anak pra-sekolah, yaitu:
a. Ketrampilan sosial, misalnya
kemampuan untuk bekerjasama secara kooperatif, untuk menghormati orang lain,
untuk mengekspresikan emosi dan perasaan dengan cara yang terhormat, untuk
mendengarkan orang lain, untuk mengikuti aturan dan prosedur, untuk duduk
dengan penuh perhatian, dan untuk bekerja secara maindiri. Pengembangan
ketrampilan sosial pada anak pra-sekolah sangat krusial mengingat adanya
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bila seseorang anak belum
mencapai kompetensi sosial minimal pada umur 6 tahun, di kelak kemudian hari ia akan mengalami kesulitan untuk
mengembangkan kompensi tersebut (Katz, 1997).
b. Ketrampilan komunikasi, misalnya
ketrampilan untuk meminta bantuan dengan cara yang baik dan sopan, ketrampilan
untuk memverbalisasikan pikiran dan perasaan, menjawab pertanyaan terbuka dan
tertutup, berpartisipasi dalam diskusi kelas, dan ketrampilan untuk
menghubungkan berbagai ide dan pengalaman.
c. Perilaku terkait-tugas, misalnya
perilaku tidak mengganggu anak-anak lain selama proses belajar, ketrampilan
anak untuk memantau perilakunya sendiri, menemukan bahan-bahan yang diperlukan
guna menyelesaikan tugas, mengikuti pengarahan guru, menggeneraliasikan
ketrampilan ke berbagai situasi, bersikap on-task selama mengerjakan
pekerjaan yang melibatkan seluruh kelas, dan mencoba berbagai strategi untuk
mengatasi masalah yang berbeda.
1.3.2.
Metode Pembelajaran Untuk Mengembangkan Kesiapan Sekolah Anak Prasekolah
Ada
beberapa metode pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kesiapan
sekolah pada anak usia pra-sekolah. Metode-metode pembelajaran berikut,
merupakan metode pembelajaran yang banyak direkomendasikan oleh para pakar
pendidikan pra-sekolah untuk mengembangkan kesiapan anak memasuki pendidikan
sekolah dasar.
a.
Metode
Bermain
Salah
satu aspek utama pendidikan pra-sekolah adalah bermain. Bermain merupakan
cara/jalan bagi anak untuk mengungkapkan hasil pemikiran, perasaan serta cara
mereka menjelajahi dunia lingkungannya. Dengan bermain anak memiliki kesempatan
untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar
secara menyenangkan. Bermain membantu anak menjalin hubungan sosial antar anak
(Padmonodewo, 2003).
Peran
guru dalam bermain adalah menyediakan lingkungan di mana murid-murid dapat
bermain bersama menggunakan beragam bahan yang dirancang untuk memfasilitasi
pembelajaran dan perkembangan mereka (Muijs & Reynolds, 2008). Guru juga
dapat bergabung di dalam permainan murid untuk memperluas permainan tersebut.
Selama menggunakan metode bermain, guru hendaknya memastikan bahwa semua anak
bergabung diberbagai kegiatan, dan perlu memperkenalkan ide-ide dan
situasi-situasi baru. Hal tersebut dapat dilakukan selama proses bermain,
dengan mengopservasi berbagai masalah anak dan membantu mereka mengatasinya.
Sebagai contoh, saat menyusun balok, anak-anak pada awalnya akan
menumpuk-numpuknya begitu saja dan mereka akan menemukan bahwa bangunan dari
balok yang mereka susun akan cepat roboh. Dalam konteks tersebut, guru dapat
menunjukkan kepada anak tentang bagaimana dinding kelas mereka dibangun
sehingga dapat membantu mereka menyusun bangunan dari balok-balok tersebut
secara lebih baik.
b.
Metode
Belajar Kooperatif
Belajar
kooperatif dapat dimaknai anak-anak belajar dalam kelompok kecil, dan setiap
anak dapat berpartisipasi dalam tugas-tugas bersama yang telah ditentukan
dengan jelas, dan supervisi diarahkan oleh guru (Masitoh, dkk; 2005).
Belajar
kooperatif mencakup semua jenis kerja kelompok, termasuk bentuk-bentuk kerja
kelompok yang lebih dipimpin oleh guru atau di arahkan oleh guru (Muijs &
Reynolds, 2008:89). Belajar kooperatif juga melibatkan anak untuk berbagi
tanggung jawab antara guru dan anak untuk mencapai tujuan pendidikan. Peran
guru adalah mendukung anak untuk belajar bersama-sama, sedangkan anak-anak
melakukan tugas dan berperan sebagai teman sejawat dan tutor bagi anak-anak
lainnya. Contoh tugas-tugas kooperatif dalam konteks pendidikan pra-sekolah
antara lain adalah menciptakan nama kelompok, membuat makanan ringan,
bekerjasama membuat menara, bekerjasama menyusun puzzel, dan menyelidiki
bagaimana katak hidup.
Menurut
Harmin (Masitoh, dkk; 2005:171), belajar kooperatif memiliki karakteristik
antara lain sebagai berikut:
·
Semua
anggota bertanggung jawab untuk belajar dari dirinya sendiri dan belajar dari
orang lain.
·
Anak-anak
memberikan konstribusi terhadap anak lainnya dengan cara membantu, memberikan
dorongan, mengkritik dan menghargai pekerjaan orang lain.
·
Setiap
individu bertanggung jawab untuk mencapai hasil kelompok. Kegiatan dibangun sedemikian
rupa sehingga setiap anak berbagi tanggung jawab untuk mencapai tujuan. Umpan
balik diberikan kepada individu dan kelompok secara keseluruhan.
·
Anak-anak
harus mempunyai kesempatan untuk menggambarkan kerja kelompoknya.
Dengan
menggunakan metode belajar kooperatif pada pendidikan pra-sekolah diharapkan
guru dapat:
·
Mengembangkan
perasaan dan harga diri positif serta meningkatkan ketrampilan anak.
·
Meningkatkan
kemampuan anak dalam mengerjakan tugas.
·
Meningkatkan
toleransi di antara anak.
·
Meningkatkan
kemampuan anak berbicara, mengambil prakarsa, membuat pilihan, dan secara umum
mengembangkan kebiasaan belajar sepanjang hayat.
c.
Metode Drama dan Sandiwara Pendek
Cara
lain guna memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk ikut ambil bagian di
dalam kegiatan yang mereka nikmati, yang memiliki manfaat pendidikan cukup
kuat, khususnya dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan berbicara anak.
Melalui drama, anak diberi kesempatan untuk dapat terlibat di dalam percakapan
yang berbeda dengan apa yang mereka lakukan sehari-hari, serta juga dapat
membantu memperluas pemikiran mereka (Hendy dan Toon dalam Muijs &
Reynolds, 2008).
d. Metode Demonstrasi
Secara
umum, demonstrasi melibatkan satu orang atau lebih untuk menunjukkan kepada
orang lain bagaimana bekerjanya sesuatu dan bagaimana tugas-tugas itu
dilaksanakan. Ketika seseorang mendemonstrasikan sesuatu, harus dilakukan
pengamatan terhadap kegiatan yang dilaksanakan. Guru menggunakan metode
demonstrasi untuk mendeskripsikan tentang sesuatu yang akan dilakukan
anak-anak.
Menurut
Masitoh, dkk. (2005), metode demonstrasi dapat dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
·
Meminta
perhatian anak.
·
Memperlihatkan
sesuatu kepada anak-anak.
·
Meminta
tanggapan atau respon anak terhadap apa yang mereka lihat dan dengar dengan
tindakan dan kata-kata.
Dalam
implementasinya, metode ini perlu dikombinasikan dengan metode-metode lainnya,
mengingat demonstrasi hanya merupakan bagian kecil dari interaksi pembelajaran
yang kompleks.
e. Metode Diskusi Kelompok Kecil atau Diskusi Kelas
Metode
diskusi merupakan sebuah metode yang menunjukkan adanya interaksi timbal balik
atau multi arah antara guru dan anak (guru berbicara kepada anak atau anak yang
berbicara kepada guru, dan anak berbicara dengan anak dengan anak). Diskusi
menggabungkan strategi undangan, refleksi, pertanyaan, dan pernyataan. Dalam
diskusi guru tidak membimbing percakapan tetapi mendorong anak-anak untuk
mengemukakan gagasannya sendiri dan mengkomunikasikan gagasan secara lebih luas
serta mendengarkan pendapat orang lain. Metode ini dapat membantu
mengembangkann ketrampilan mendengarkan, ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan
untuk menghasilkan ide-ide, serta menghormati pendapat orang lain.
f.
Metode Pemecahan Masalah
Kegiatan
pemecahan masalah pada dasarnya merupakan salah satu variasi dari metode
penemuan terbimbimbing.Harlan (1988) dan Hendrick (1997) dalam Masitoh, dkk.
(2005) mengemukakan bahwa dalam kegiatan ini anak-anak terlibat secara aktif
dalam kegiatan perencanaan, peramalan, pembuatan keputusan, mengamati hasil
tindakannya, sedang guru lebih bertindak sebagai fasilitator yang membimbing
dan mengarahkan anak dalam melakukan kegiatan pemecahan masalah secara lebih
baik.
Terkadang
ide masalah dapat muncul dari peristiwa yang terjadi secara alamiah, dan
terkadang juga harus direncanakan terlebih dahulu oleh guru. Masalah yang
paling baik bagi anak-anak adalah masalah yang memungkinkan mereka mengumpulkan
informasi yang konkrit, dan mengandung lebih dari satu pemecahan masalah, dapat
diamati, memudahkan anak-anak untuk mengevaluasinya, dan memungkinkan anak untuk
membuat keputusannya sendiri. Masalah yang baik akan dapat menolong anak untuk
menganalisis, menyampaikan dan mengevaluasi peristiwa, informasi dan ide.
Masalah yang baik juga akan mampu mendorong anak untuk membuat hubungan secara
mental dan membangun ide.
g. Mengategorisasikan Objek
Seperti
mainan atau bahan-bahan lain di kelas, menurut kriteria seperti bentuk, ukuran,
atau warna akan membantu anak-anak mengembangkan ketrampilan klasifikasi dan
kemampuan matematisnya. Guru perlu memastikan bahwa anak-anak menjelaskan
kriteria yang mereka gunakan untuk mengklasifikasikan benda-benda tersebut dan
usahakan semua anak memahami kriteria yang mereka gunakan.
1.4.
Pengertian
Pendidikan Prasekolah
Di
dalam Pasal 12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, tercantum bahwa selain pendidikan tinggi, juga
terdapat pendidikan prasekolah.Batasan yang dipergunakan oleh The National Association for The Education
of Young Children (NAEYC), dan
para ahli pada umnya sebagai berikut:
§
Yang dimaksudkan dengan “Early Childhood” (anak
masa awal) adalah anak yang sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun.
Batasan ini seringkali dipergunaakan untuk merujuk anak yang belum mencapai
usia sekolah dan masyarakat menggunakannya bagi berbagai tipe prasekolah.
§
Early Childhood
Setting (tatanan anak masa awal) menunjukkan pelayanan untuk anak sejak
lahir sampai dengan delapan tahun di suatu pusat penyelenggaraan, rumah, atau
institusi, seperti kindergarten, Sekolah
Dasar dan program rekreasi yang
menggunakan sebagian waktu atau penuh waktu.
§
Early
Childhood Education (pendidikan awal masa anak) terdiri dari pelayanan yang
diberikan dalam tatanan awal masa anak. Biasanya oleh para pendidik anak usia
dini (young children) digunakan
istilah early childhood (anak masa
awal) dan early childhood education (pendidikan
anak masa awal) dianggap sama atau sinonim.
Dalam
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal
12 Ayat (2) menyebutkan “ Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah,” adalah pendidikan yang
diselenggarakan untuk mengembangka pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang
melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan
asas pendidiika sedini mungkin dan seumur hidup.
Pendidikan
prasekolah, menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1990
tentang pendidikan prasekolah, mempunyai tujuan untuk meletakkan dasar
perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta anak didik di dalam
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Di
samping hal tersebut, pendidikan prasekolah juga membantu untuk pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum
memasuki jalur pendidikan sekolah. Hal yang perlu digarisbawahi pada Peraturan
Pemerintah RI Nomor 27 tahun 1990 ini adalah pendidikan prasekolah tidak merupakan persyaratan untuk memasuki
sekolah dasar. Dengan demikian, mengikuti pendidikan prasekolah seperti
Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain dan Tempat Penitipan Anak maupun bentuk
lainnya, bukan suatu hal yang wajib diikuti oleh seorang anak usia 3-5 tahun.
Namun, adanya gejala (yang semakin umum dan meluas) pada pendaftaran murid baru
Kelas 1 Sekolah Dasar untuk menyertakan Rapor TK, menunjukkan bahwa kegiatan
pendidikan prasekolah ini termasuk dipentingkan oleh penyelenggara pendidikan dasar.
Anak-anak
calon murid Kelas 1 SD yang berasal dari TK dibandingkan dengan yang belum
pernah pernah mengikuti TK, akan jelas terlihat perbedaan performance-nya. Mereka yang mengikuti pendidikan prasekolah sudah
terbiasa dan terampil untuk membaca huruf, suku kata dan kalimat serta
sekaligus merangkaikannyadalam tulisan. Sebaliknya, anak-anak yang sama sekali
tidak mengenyam pendidikan prasekolah (dan tidak dilatih oleh orang tua dirumah
karena dianggap porsi pelajaran skolastik adalah urusan guru), tampak agak
tertinggal.
1.5.
Tujuan
Prasekolah
Ada
beberapa negara di dunia mempunyai perbedaan mengenai pendidikan prasekolah
contohnya saja di negara Cina, prasekolah diharapkan untuk memberikan persiapan
akademis untuk bersekolah. Namun sebaliknya di negara besar seperti Amerika
Serikat prasekolah secara tradisional mengikuti filosofi “berpusat pada
anak-anak” (child-centered) menekankan pertumbuhan sosial dan emosional yang
sejalan dengan kebutuhan perkembangan anak walaupun sebagian, yang mendasarkan
diri kepada teori pendidik Italia Maria Montessori atau Piaget, memiliki
penekanan kogntif yang lebih kuat.
Pendidikan
prasekolah di Jepang berbeda dengan yang terdapat di AS, walaupun masalah yang
sama juga mengemuka disana. Prasekolah Jepang biasa, searah dengan nilai
kultural yang dapat diterima berpusat pada masyarakat (society centered).
Sekolah tersebut menekankan keterampilan dan sikap yang menghadirkan
keharmonisan kelompok, seperti mengucapkan salam kepada guru dengan benar. Dua
bentu prasekolah lain yang baru-baru ini muncul di Jepang aalah child centered
(berpusat pada anak) dan role-centered (berpusat pada masyarakat).
Tujuan
utama pendidikan pra-sekolah adalah membantu anak didik mengembangkan berbagai
potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial
emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap
memasuki pendidikan dasar (Puskur, 2003). Berkaitan dengan hal tersebut, ada
beberapa fungsi pendidikan pra sekolah, yang mana salah satu diantaranya adalah
untuk menyiapkan anak didik memasuki pendidikan dasar. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa selain bertujuan dan berfungsi untuk menstimulasi tumbuh
kembang anak, pendidikan pra-sekolah sesungguhnya juga berperan penting untuk
mengembangkan kesiapan anak didik dalam memasuki pendidikan sekolah dasar.
Hasil
penelitian yang dikemukakan oleh Wylie (1998) menunjukkan bahwa anak-anak yang
mengikuti pendidikan pra-sekolah memperlihatkan prestasi belajar yang lebih
baik di sekolah dasar dibandingkan dengan murid-murid yang tidak mengikuti
pendidikan pra-sekolah. Menurut Wylie (1998), beberapa penelitian bahkan
menunjukkan bahwa murid-murid mendapatkan manfaat yang lebih besar bila
pendidikan pra-sekolah itu sudah dimulai sebelum umur tiga tahun (umur
dimulainya pendidikan pra-sekolah di kebanyakan negara). Sebagaimana juga
ditunjukkan oleh hasil penelitian mutakhir di Selandia Baru, bahwa anak-anak
yang mengalami paling tidak tiga tahun pendidikan pra-sekolah memperlihatkan
skor yang lebih tinggi pada tes kompetensi dibanding sebayanya pada usia 10
tahun (Wylie dan Thompson, 2003).
Secara
umum, menurut Stipek dan Ogawa (Kagan dan Hallmark, 2001), program-program
pra-sekolah ditemukan memberikan manfaat jangka pendek maupun jangka panjang,
seperti prestasi akademik yang lebih tinggi, angka tinggal kelas yang lebih
rendah, angka kelulusan yang lebih tinggi, dan angka kenakalan yang lebih
rendah dikelak kemudian hari.
1.6.
Tipe
Prasekolah
Prasekolah
merupakan suatu pilihan pendidikan bagi
kanak-kanak sebelum memasuki sekolah formal. Walaupun beberapa orang menganggap
bahwa masuk prasekolah tidak diharuskan, apalagi mengingat biaya yang tidak
sedikit. Apabila orangtua atau pengasuh sudah mampu menerapkan berbagai parenting
style yang tepat, anak tidak harus masuk sekolah sebelum usia 5 tahun.
Dengan pola pengasuhan yang baik di rumah, anak justru bisa bermain dengan lebih bebas dan tenang. Tentunya
juga perlu tambahan pengalaman bermain di luar rumah dengan para tetangga.
Sebaliknya beberapa orang beranggapan bahwa seorang anak harus menempuh
pendidikan prasekolah mengingat begitu banyaknya keuntungan dan perubahan
positif yang diperoleh.
Bagi
anak usia 4-5 tahun perlunya dilakukan pengembangkan kemampuan dalam hal
sosialisasi karena mereka akan mulai bermain bersama dengan teman sebayanya.
Stimulasi pada anak juga harus diperhatikan seperti dalam hal aspek motorik,
bahasa, kognitif, sosial-emosi, dan kemandirian. Apabila beberapa aspek ini sudah
terpenuhi dalam diri seorang anak maka saat anak tersebut melanjut ke sekolah
formal, ia tidak akan menemukan kendala yang besar. Sebaliknya jika beberapa
aspek ini kurang terpenuhi dalam diri seorang anak maka akan adanya kendala
yang cukup rumit baik bagi anak tersebut maupun orangtunya.
Walaupun
di prasekolah (Kelompok Bermain & Taman Kanak-kanak) ada kegiatan baca,
tulis, hitung maka hal itu sebaiknya bukan menjadi target utama pembelajaran.
Pengenalan hal tersebut di prasekolah seharusnya dilakukan bukan dengan cara memaksa dan drilling,
tetapi lebih mengenalkannya lewat lagu dan permainan. Melalui lagu dan
permainan, kemampuan baca, tulis, dan berhitung anak bisa berkembang dengan
baik dan tidak membuat anak stres. Namun kenyataannya tetap saja, ada TK yang
memfokuskan ke membaca, menulis dan berhitung dengan alasan lebih diminati dan
memang diminta orang tua.
Beberapa
prasekolah juga mendidik anak yang berusia dibawah 4 tahun bahkan ada yang
mendidik anak yang berusia 6 bulan. Sebaiknya, anak yang berusia dibawah 2
tahun tidak perlu dimasukkan ke prasekolah karena anak tersebut masih lebih
menggantungkan dirinya kepada orangtuanya. Untuk itu, beberapa ciri-ciri anak
yang sebaiknya mengikuti pendidikan prasekolah adalah anak yang berusia sekitar
4-6 tahun dan sudah memiiki kemampuan motorik yang baik.
Tipe
prasekolah apa yang baik untuk anak?
Berbagai studi di Amerika Serikat mendukung pendekatan perkembangan
berpusat pada anak. Salah satu studi lapangan (Marcon, 1999) membandingkan 721
anak Afro-Amerika berusia 4-5 tahun dari keluarga berpenghasilan rendah yang
berasal dari tiga tipe prasekolah di Washington, D. C.; child-initiated, academically directed, dan middle-of-the road (campuran dari dua pendekatan sebelumnya).
Anak-anak yang berasal dari program child-initiated,
di mana mereka secara aktif mengarahkan pengalaman belajar mereka, memiliki
hasil yang bagus dalam keterampilan akademis dasar. Mereka juga memiliki
keterampilan motoris yang lebih maju dibandingkan dua kelompok dan dinilai
lebih tinggi dibandingkan kelompok middle-of-the
road dalam keterampilan berperilaku dan berkomunikasi. Temuan ini
menyatakan bahwa filosofi pendidikan tunggal yang koheren bekerja lebih baik
dibandingkan dengan upaya menyatukan pendekatan yang berbeda. Temuan tersebut
juga menyatakan bahwa pendekatan yang berfokus kepada anak lebih efektif
dibandingkan dengan yang berfokus pada akademis.
1.7.
Transisi ke Taman Kanak-kanak
Pendidikan
anak prasekolah merupakan bentuk transisi perkembangan anak dari lingkungan
keluarga kepada lingkungan sekolah. Masa transisi ini merupakan masa yang cukup
sulit namun menyenangkan bagi anak, karena kesiapan pada setiap anak dalam
melalui masa transisi ini berbeda-beda, hal ini juga dipengarui oleh dukungan
dari keluarga pengasuh si anak itu sendiri, dimana dukungan orangtua dalam
membimbing anak secara informal sangat dibutuhkan untuk mendukung bimbingan
yang diperoleh anak dari pendidikan prasekolah sebagai sektor formal. Salah
satu jenis lembaga pendidikan anak prasekolah yang telah dikenal di Indonesia
ialah Taman Kanak-kanak (TK).
Taman
Kanak-kanak merupakan wadah yang disediakan untuk anak berusia 4-6 tahun.
Menurut Brickenridge dan Vincent (1966) pendidikan TK dapat memperluas
pengalaman sosial dan intelektual anak. Tujuan pendidikan prasekolah seperti
Taman Kanak-kanak (TK) adalah untuk memberikan stimulasi dan bimbingan terhadap
kebutuhan fisik dan pertumbuhannya, serta meningkatkan kemampuan intelektual
dan hubungan sosial sebagai persiapan untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan
prasekolah dapat membantu perkembangan anak. Secara terinci Hurlock (1978)
menyebutkan ada 10 aspek perkembangan yang dapat mendorong pertumbuhannya
melalui pendidikan prasekolah. Kesepuluh aspek tersebut ialah kesehatan fisik,
keterampilan, kemampuan berbicara (berkomunikasi), perkembangan emosi, perilaku
sosial, sikap sosial, kreativitas, disiplin, konsep diri dan penyesuaian
sekolah. Papalia Olds (1986) menyatakan bahwa pendidikan prasekolah membantu
perkembangan anak dalam berbagai aspek yaitu fisik, intelektual, sosial, dan
emosional. Perasaan otonomi anak berkembang dengan adanya kesempatan
bereksplorasi diluar rumah. Adanya kesempatan bermain dengan anak-anak lain
menjadikan mereka memiliki banyak kesempatan untuk bekerjasama dan memahami perspektif
serta perasaan orang lain. Adapun aspek-aspek keuntungan pendidikan prasekolah
sebagai berikut:
1. Aspek Sosial
Kebutuhan Sosial pada anak-anak
mengungkapkan bahwa anak-anak membutuhkan orang lain dan selalu ingin
berhubungan dengan orang lain dalam proses perkembangannya. Hal ini karena pada
dasarnya manusia merupakan makhluk individu dan sekaligus juga sebagai makhluk
sosial (Nuryoto, 1995). Hubungan sosial anak semakin meluas karena kebutuhan
sosialnya juga akan semakin kompleks. Mereka sudah butuh teman sebaya, perlu
memahami orang dewasa selain orang tua, misalnya gurunya.
Dalam
kesiapan ini, anak akan merasa senang masuk TK, karena mereka akan mempunyai
banyak teman dan dapat bermain dengan leluasa. Pada usia prasekolah ini, anak
memiliki kontak intensif dengan teman sebaya. Berbagai pola tingkah laku anak
timbul dengan cara menirukan, belajar-model, dan oleh penguat dari pihak
teman-teman sebaya.
2. Aspek Kognitif
Kebutuhan secara kognitif
(intelektual) akan tampak pada anak dengan adanya keinginannya untuk mengetahui
sesuatu yang ada di lingkungannya. Anak ingin berprestasi, ingin mengamati
sesuatu secara serius, ingin mengetahui hal-hal baru, mencoba sesuatu,
menciptakan sesuatu, dan sebagainya. Pada masa ini, anak akan banyak bertanya
tentang segala sesuatu yang dilihat atau didengarnya dengan pertanyaan apa,
mengapa dan bagaimana (Nuryoto, 1995). Keinginan untuk berprestasi ini harus
diberi stimulasi bila kita akan menyambut dorongan manipulasi dan eksplorasi
anak.
3. Aspek Emosional
Kebutuhan emosional anak juga akan
terpenuhi dengan adanya kesempatan untuk bereksplorasi dalam ekspresi emosi
anak pada lingkungan prasekolahnya. Emosi anak akan berkembang secara sehat
kalau anak mendapatkan bimbingan secara tepat dengan penuh kasih sayang. Dengan
mendapatkan perlakuan yang tepat, anak akan merasa aman dan mampu mengembangkan
emosinya secara positif, juga akan semakin memupuk rasa percaya diri pada anak
(Nuryoto, 1995). Selanjutnya (Hurlock, 1984) ketelantaran emosional pada anak
seperti keterbatasan akan rasa ingin tahu, kasih sayang dan kebahagiaan, akan
membatasi perkembangan kepribadian anak.
4. Aspek Fisik
Kebutuhan Fisik merupakan segala
sesuatu yang berkaitan dengan pertumbuhan dan kesehatan fisik, misalnya
makanan, udara segar, sinar matahari, tidur atau istirahat. Dengan adanya
lingkungan prasekolah, maka kegiatan-kegiatan yang memerlukan aktifitas fisik
seperti olahraga, bermain tali, memanjat, mencoret-coret, akan mempengaruhi
perkembangan otot dan motorik anak. Keberhasilan anak dalam menghadapi
tantangan fisik ini mempunyai arti yang lebih luas bagi anak, dalam hal
perkembangan pribadi, anak akan merasa mampu dan berani dalam mencoba hal-hal
baru dan akan mempengaruhi perkembangan kecerdasannya.
Dalam sebuah kelompok
penelitian, yang diikuti oleh 399 siswa taman kanak-kanak sepanjang 1 tahun,
menemukan sejumlah faktor saling terkait yang memengaruhi pencapaian kognitif
dan penyesuaian sosial. Resiko yang sudah ada dan faktor protektif yang
berkaitan dengan anak dan lingkungan rumah berinteraksi dengan karakteristik
alamiah dari lingkungan kelas, seperti perkembangan hubungan antara anak dengan
guru dan teman sebaya, dan efek yang muncul terus menguat dari waktu ke waktu.
Anak yang menunjukkan perilaku
prososial di awal menjadi lebih disukai sedangkan anak yang sudah menunjukkan
prilaku non-sosial di awal menjadi semakin tidak disukai. Jenis yang terakhir
sering kali terlibat konflik dengan guru, kurang berpartisipasi, dan
mendapatkan prestasi yang lebih rendah. Anak-anak yang lebih matang secara
kognitif memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berpartisipasi, dan
mereka yang berpartisipasi lebih banyak akan mendapatkan lebih banyak. Latar
belakang keluarga yang mendukung juga mempengaruhi prestasi (Ladd, Birch, &
Buhs, 1999). Anak-anak yang ditolak oleh
teman sebayanya cenderung kurang berpartisipasidalam kelas dan kurang
berprestasi. Mereka cenderung merasa sendiri dan ingin terus berada di rumah
(Buhs & Ladd, 2001).
Terdapat usulan untuk
memperpanjang jumlah tahun sekolah, baik bagi taman kanak-kanak maupun bagi
tingkatan yang lebih tinggi. Ketika sekolah dasar di kota ukuran menengah di
tenggara menambah 30 hari ke dalam jumlah hari akademisnya, taman kanak-kanak
yang menjalani program belajar 210 hari mengalahkan para murid taman
kanak-kanak tradisional yang berjumlah 180 hari dalam tes matematika, membaca,
pengetahuan umum, dan kompetisi kognitif pada awal tingkat pertama (Frazier
& Morrison, 1998). Perkembangan keterampilan fisik dan kognitif masa
kanak-kanak awal memiliki implikasi psikososial.
1.8.
Program Prasekolah Pengganti
Makin tinggi
sosialekonomi suatu keluarga semakin siap seorang anak untuk bersekolah.
Diperkirakan dua per tiga anak kurang mampu memasuki sekolah dengan persiapan
belajar yang buruk(Ziggler,1998). Sejak tahhun 1960-an, program berskala besar
telah dikembangkan untuk membantu anak-anak dan mempersiapkan mereka
bersekolah.
Program
prasekolah pengganti terbaik bagi anak kurang mampu di Amerika adalah Project
Head Start, program sumbangan federal yang diluncurkan pada 1965. Targetnya
tidak hanya meningkat kemampuan kognitif tetapi juga meningkatkan kesehatan
mental, mengembangkan percaya diri, hubungan dengan orang lain, tanggung jawab,
dan rasa kehormatan dan harga diri bagi anak dan keluarga.
Sebagaian besar
kesuksesan program Head Start adalah dikarenakan partisipasi orang tua, guru
yang terlatih, dan pelayanan yang baik. Akan tetapi, ketika program pengganti
tidak diteruskan setelah anak masuk sekolah, kemampuan kognitif cenderung
hilang.
Perkembangan
pendidikan prasekolah tidak hanya terjadi di negara yang telah maju saja,
tetapi juga dinegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Berbagai macam
pelayanan pendidikan prasekolah ditemukan di sekitar kehidupan kita seperti
taman kanak-kanak(TK), pendidikan anak usia dini(PAUD), Day Care/TPA. Taman
Kanak-kanak adalah sarana sekolah untuk anak prasekolah. program ini telah
dikembangkan sejak abad ke-18 oleh Froebel seorang pendidik yang berasal dari
Jerman. Seperti program prasekolah lainnya, di taman kanak anak-anak diaajarkan
kemampuan untuk berbahasa, kognitif, kemampuan fisik motorik, dan seni.
Dalam kemampuan
berbahasa anak mampu mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, dan memiliki
perbendaharaan kata yang baik. Kemampuan kognitif anak juga mampu mengenal
konsep sederhana dlam kehidupan sehari-hari. Anak juga mampu untuk melakukan
aktivitas fisik secara terkordinasi. Biasanya Taman Kanak-Kanak disediakan
untuk menghadapi masa sekolah atau memasuki tingkat bsekolah dasar (SD).
TPA/day care
merupakan pengasuhan anak dalam kelompok. biasanya dilaksanakan pada saat jam
kerja. Day care merupakan upaya yang terorganisasi untuk mengasuh anak-anak di
luar rumah mereka selama beberapa jam dalam waktu satu hari bilamana asuhan
orangtua kurang dapat dilaksanakan secara lengkap. Dalam hal ini pengertian Day
care hanya sebagai pelengkap terhadap asuhan orangtua dan bukan sebagai
pengganti asuhan orangtua.TPA juga diperuntukkan anak dalam keluarga yang
kurang beruntung. TPA diperuntukkan jika anak mengalami hambatan karena orang
tua dan ibu bekerja.
1.9.
Orang Tua dan Pendidikan
Prasekolah
Adalah suatu kenyataan bahwa
orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Apabila anak telah masuk
sekolah, orangtua adalah mitra kerja yang utama bagi guru anaknya. Bahkan
sebagai orangtua, mereka mempunyai berbagai peran pilihan yaitu: orang tua
sebagai pelajar, orang tua sebagai relawan, orang tua sebagai pembuat
keputusan, orang tua sebagai anggota tim kerjasama guru-orang tua. Dalam
peran-peran tersebut memungkinkan orang tua membantu meningkatkan perkembangan
dan pertumbuhan anak-anak mereka.
Baik orang tua maupun guru selalu
berharap agar anak atau anak didiknya akan mampu mencapai prestasi dan tumbuh
serta berkembang secara optimal. Walaupun demikian pada kenyataannya tidak
mudah menjalin kerja sama antara kedua belah pihak tersebut. Baik orang tua
maupun guru seringkali tidak memiliki pandangan yang sama terhadap pendidikan,
khususnya dalam mendisiplin, hubungan antara anak dan orang dewasa, anak lelaki
dan perempuan, atau budayanya.
Ada berbagai cara bagaimana guru
dapat membantu para orang tua melalui pendidikan anaknya. Tetapi sebaiknya para
guru tidak terlalu banyak mengkritik atau menuntut para orang tua, karena pada
umumnya yang dibutuhkan adalah bantuan bukan kritik. Demikian pula sebaliknya,
yang lebih penting adalah kerja sama.
Partisipasi orang tua di sekolah
pada umumnya guna meningkatkan prestasi anak di sekolah. Apabila memiliki
program sekolah yang baik dan orang tua mau membantu, umumnya prestasi dan
keterampilan anak akan meningkat.
Para pendidik telah menyadari
usaha guru dalam mengajar akan lebih efektif hasilnya apabila orang tua ikut
membantu dalam pendidikan tersebut. Sebaliknya apabila orang tua menyadari
bahwa disiplin sekolah adalah satu hal yang terpenting, biasanya orang tua akan
bersedia membantu kegiatan belajar mengajar anaknya dalam kegiatan yang
berhubungan dengan tugas sekolah. Beberapa hal telah membuktikan bahwa ternyata
makin orang tua menyadari pentingnya program sekolah, makin langsung dan besar
keterlibatan orang tua.
0 komentar:
Posting Komentar